Menganalisis Perpecahan Umat dalam Lensa Al-Qur’an dan Sunnah
Perpecahan di kalangan umat Islam bukanlah fenomena baru. Jauh sebelum terjadi, Rasulullah Muhammad ﷺ telah memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi yang akan melanda umat setelah masa beliau: munculnya perselisihan yang intens dan perpecahan yang tak terhindarkan.
Informasi kenabian tersebut terbukti benar dan kini menjadi realitas yang menyakitkan. Setiap golongan muncul dengan keyakinan kuat bahwa hanya kelompoknyalah yang paling benar, merasa bangga dengan pemahaman mereka sendiri, dan menganggap yang lain menyimpang atau salah. Fenomena ini telah diabadikan dalam Al-Qur’an:
“Maka mereka terpecah-pecah belah menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (Q.S. Al-Mu’minun, 23:52-53; lihat juga Q.S. Ar-Rum, 30:31-32).
Larangan Merasa Suci dan Memvonis
Paradoksnya, meskipun perpecahan terjadi, nash dari Al-Qur’an dengan tegas melarang umat Islam untuk merasa suci atau paling benar sendiri:
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.” (Q.S. An-Najm, 53:32).
Larangan ini tidak hanya berlaku untuk penilaian diri, tetapi juga untuk memvonis golongan Muslim lain sebagai salah atau menyimpang. Lebih jauh, Islam melarang keras segala bentuk kekerasan, anarkisme, hingga pembunuhan tanpa alasan yang jelas dan sah secara syariat.
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Q.S. Al-Maidah, 5:32).
Ad-Dinul Islam—aturan yang berasal dari Sang Maha Pencipta—dibawa oleh Rasulullah Muhammad ﷺ untuk menuntun hamba-Nya agar senantiasa berada dalam kebersamaan, dalam Al-Jama’ah, tanpa memandang firqah (golongan).
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (Q.S. Ali Imran, 3:103).
Akar Fitnah dan Tanggung Jawab Umat
Islam adalah agama cinta kasih antar sesama Muslim dan seluruh umat manusia. Islam tidak pernah memerintahkan tindakan anarkis, bom bunuh diri, apalagi menghalalkan darah orang lain.
Justru, ketika umat Islam sendiri bertindak keliru, hal itu menjadi celah besar. Fitnah yang disuarakan oleh pihak kafir dan munafik—mereka yang memang tidak menyukai Islam—menjadi mudah menyebar. Meskipun di sisi lain orang-orang yang tidak senang terhadap Islam akan selalu melontarkan pernyataan buruk (Q.S. Ash-Shaff, 61:8-9), tindakan yang menyimpang dari umat sendiri-lah yang memberikan amunisi bagi fitnah tersebut.
Prinsip Muttabi’urrasul: Kembali ke Inti
Oleh karena itu, peran para ulama dan umat Islam yang mengaku sebagai Muttabi’urrasul (pengikut Rasul) haruslah sadar sepenuhnya akan bahaya perpecahan ini. Tindakan yang memecah belah dan kekerasan jelas bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Penyuaraan kebenaran Islam dalam proses dakwah sangatlah mendesak. Tugas kita adalah mengajak umat Islam kembali kepada hakikat Islam yang sesungguhnya: persatuan di atas pondasi yang tunggal, tanpa memandang firqah atau golongan lain.
Prinsip yang harus dipegang teguh hanyalah satu, yaitu ikrar yang mendasari seluruh keimanan kita:
“Radhiitu billahi rabban wa bil-Islami diinan wa bi muhammadin nabiyyan warasuulan” (Aku ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai Ad Din, dan Muhammad sebagai nabi dan rasul).
Inilah kunci untuk memadamkan api perpecahan dan mewujudkan kembali kekuatan Al-Jama’ah.









